1. Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
- Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen, yaitu:
- Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
- Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
- Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
- Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
- Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
- Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
- Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak Konsumen adalah:
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jas
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
- Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya’
Kewajiban konsumen adalah:
- membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
- beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
- membayar dengan nilai tukar yang disepakati
- mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patu
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha adalah:
- hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
- hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik;
- hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen;
- hak untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah:
- beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-etentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
- larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
- larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
- larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Mari kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
- tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
- tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
- tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
- tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
- tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
- Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
- Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
- Bekas: sudah pernah dipakai.
- Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
- Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
6. Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
- Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
- Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
- Kurungan :
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar -rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e dan Pasal 18 Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)huruf d dan f Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
- Hukuman tambahan , antara lain :
– Pengumuman keputusan Hakim
– Pencabuttan izin usaha;
– Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
– Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
– Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
7. Variabel Pelayanan Konsumen dan Contoh Kasus
- Komplain
Contoh Komplain
- Suatu hari saya mengunjungi cabang Landmark karena ada keperluan perbankan yang mana saya “disarankan” untuk hadir di cabang tersebut. Pelayanannya sungguh “cool” dan friendly, tanpa ada kesan berlebihan (tidak ada pujian terhadap hal2 yang biasa saja). Terkesan memang profesional sekali cara memenuhi personal need saya sebagai nasabahnya. Sekalian di situ saya ditawari untuk mengganti Citicard (kartu ATM) saya dengan yang baru dan tidak ada biaya tambahan. Gratis, ya siapa gak mau, saya OK kan aja, asalkan kartunya bisa langsung dipakai. Selain itu saya juga ditawari untuk setting Citibank Online saya yang perlu diset di cabang untuk aktivasi internet bankingnya – dan hari itu juga bisa aktif. Sayang .. dua hal ini ternyata hanya janji karena ternyata Citicard saya kena beban biaya, tidak sesuai dengan penjelasan di awal dan … ternyata Citicard nya tidak bisa langung digunakan karena harus menunggu batch run pada malam harinya dan besok baru bisa “on”. Padahal diawalnya dijanjikan langsung bisa digunakan. Aktivasi internet banking pun ternyata tidak bisa “same day” service. Customer Service person yang melayani saya ternyata tidak sepenuhnya memahami proses bisnis nya sehingga pada saat konfirmasi di CitiPhone, dinyatakan bahwa setting internet banking baru bisa digunakan esok harinya.
Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan personal telah dilakukan Citibank dengan cukup baik dan tidak berlebihan, namun kebutuhan practical nya tidak dipenuhi dalam hal janji “same day” service buat ATM (Citicard) dan aktivasi internet banking. Ujungnya … saya kecewa.
- Kasus tentang penyelewengan perlindungan konsumen terjadi pada diri saya sendiri yaitu pada suatu hari saya berniat untuk mengirimkan ijazah kakak saya. Kakak saya meminta saya untuk mengirimkan ijazahnya karena untuk keperluan pekerjaan, untuk itu saya pergi ke JNE perusahaan yang memberikan jasa pengiriman barang. Sudah seminggu berlalu semenjak saya mengirimkan ijazah tersebut kepada kakak saya tetapi masih belum tiba. Akhirnya kakak saya pun datang ke kantor JNE yang ada di Tuban tetapi setelah sampai disana tidak mendapatkan respon yang baik. Setelah 3 minggu menunggu saya pun mendapat telepon dari pihak JNE dan saya diberitahu bahwa barang yang saya kirimkan dinyatakan hilang saya pun mulai emosi, bagaimana tidak surat penting yang sudah dikirim begitu lama namun baru dikonfirmasi setelah sekian lama. padahal kakak saya sudah melaporkannya seminggu setelah pengiriman. Tidak lama setelah itu rumah kami di datangi oleh pihak JNE karena sebelumnya kakak saya menulis keluhannya tersebut di KOMPAS. Pihak JNE pun datang untuk menawarkan ganti rugi 10x lipat dari biaya pengiriman yaitu sekitar Rp 120.000 namun Ayah saya yang kebetulan berbicara dengan pihak dari JNE tersebut tidak mau ganti rugi berupa uang. Ayah saya hanya ingin pihak JNE mengurus surat-surat yang dibutuhkan agar kakak saya bisa membuat ijazah yang baru. Namun pihak JNE hanya memberikan surat pernyataan kehilangan yang dibuat oleh JNE dan mereka mengatakan akan membuat surat pernyataan hilang juga dari polisi, namun sampai saat ini surat itu tidak kunjung datang dan kami tidak lagi dihubungi oleh pihak JNE.
- Tangibel
Contoh Kasus : Resto Chinese-food.
Sebuah resto Chinese-food yang hidangannya dikenal sangat mampu memanjakan lidah(SOLUSI INTI), disajikan dalam ruangan dengan lantaikotor serta meja penuh dengan bercak-bercak minyak (TANGIBLE). Mungkin pelangganya masih punya toleransi karena ingin makan enak. Tapi ketika pesanan lama datangnya, mulailah dia protes.”Tadi kan pesennya ndak pake lama !” Kejengkelan makin bertambah, ketika tersedak, mendapati gelasnya kosong, dan tidak ada pelayan yang tampak yang bisa dengan segera mengisi gelas kosongnya (INTANGIBLE).
Si pemilik resto yang kebetulan juru masak piawai tahu benar bahwa masakannya digemari orang. Dia tak habis pikir, kenapa restonya makin lama makin sepi? Dia tak mampu memahami (karena terlalu product oriented) bahwa lantai kotor, meja berbekas minyak, apalagi layanan lama, termasuk harga yang dibayar oleh konsumen.
Dia hanya berpikir bahwa konsumen CUMA MEMBAYARsejumlah makanan yang dipesan.
- Reability
Studi kasus
Honda merupakan produk motor roda dua yang sudah mempunyai pangsa pasar yang besar. Kondisi persaingan yang semakin ketat perusahaan dituntut untuk mampu menarik konsumen baru dan mempertahankan konsumen. Dalam upaya memperoleh dan mempertahankan konsumen dibutuhkan kepercayaan merek yang tinggi, karena dengan kepercayaan merek maka akan dapat membuat konsumennya terus loyal pada merek Honda.
Honda telah memiliki kosumen dengan tingkat kepercayaan yang tinggi sehingga mereka pun tidak diragukan lagi. Sampai sekarang merek motor honda masih tetap diminati masyarakat karena sudah teruji kuwalitasnya, irit bahan bakarnya dan ramah lingkungan. sementara merk lain dengan jenis produk yang sejenis penjualannya masih dibawah rata-rata penjualan motor Honda.
Meskipun demikian, Astra Honda Motor selaku produsen terus meningkatkan tingkat penjualan dengan berbagai strategi misal dari segi pemasaran yaitu melalui iklan di tv yang dibuat semenarik mungkin. Dengan seringnya iklan yang ditayangkan di televisi, maka konsumen akan lebih mudah mengingat produk tersebut. Para konsumen yang sebelumnya telah memiliki kepercayaan atas produk ini akan semakin meningkatkan loyalitas pada produk ini karena mereka telah yakin oleh kualitas yang telah dipertahankan dan ditingkatkan dari dulu sampai saat ini.
PENDAPAT:
Saran saya adalah agar pihak Astra Honda Motor selaku produsen penghasil motor-motor honda sebaiknya terus melakukan inovasi terkait dengan keandalan produknya (brand reliability). Dengan demikian citra yang sudah terbangun tentang kualitas dan keandalan motor honda akan terus dapat dipertahankan dan dapat ditingkatkan sehingga dapat semakin meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap merek Honda. Dari hasil sumbangan efektif diketahui niatan baik suatu merek (brand intentions) memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam pembentukan loyalitas merek motor honda
- Responsive
TEMPO Interaktif, Garut – Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut, Jawa Barat, dinilai buruk. Akibatnya banyak pasien tidak mendapatkan pelayanan medis yang optimal. “Banyak pasien yang terlantar,” ujar Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut, Yayat Hidayat, kepada Tempo, Selasa (30/11).
Menurut Yayat, kondisi itu diketahui saat sejumlah anggota dewan turun langsung ke lapangan beberapa waktu lalu. Para wakil rakyat menemukan pelayanan rumah sakit milik pemerintah daerah ini lebih bertujuan komersil atau mencari keuntungan.
Contoh kasus diantaranya, para pasien diharuskan untuk memberikan uang muka terlebih dahulu saat pertama kali masuk rumah sakit. Bila tidak, mereka tidak akan mendapatkan pelayanan medis. Bahkan para pasien yang tidak mampu membayar tidak dirawat diruang inap, mereka dibiarkan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Kondisi ini rata-rata dialami pasien umum yang tidak menggunakan kartu jaminan kesehatan. Keluarga pasien rata-rata diharuskan membayar tindakan medis sebesar Rp1,5 juta di luar biaya ruang inap, tanpa dilengkapi rincian pembiayaan. Padahal untuk kebutuhan obat, pihak keluarga tidak membelinya di rumah sakit.
Yayat menambahkan, biaya pelayanan itu tidak masuk akal. Soalnya dalam ketentuan tidak ada biaya pelayanan rumah sakit yang melebihi dari Rp 300 ribu. Seperti halnya biaya untuk suntik hanya sebesar Rp 1.500 dan biaya rawat jalan hanya sebesar Rp 3.000. “Masyarakat yang sakit akan terus menjadi korban, Bupati harus secepatnya memberikan sanksi kepada direktur rumah sakit,” ujarnya.
Buruknya pelayanan rumah sakit ini dirasakan Aisyah, 52 tahun warga Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong Kaler. Dia diharuskan membayar uang muka terlebih dahulu sebelum mendapatkan ruang inap untuk suaminya yang tengah sakit. “Sebelum membayar suami saya dibiarkan di IGD, tanpa diperiksa sedikit pun oleh dokter dan perawat,” ujarnya.
Direktur Rumah Sakit Daerah dr. Slamet Garut, Maskud Farid, membantah bila pelayanan medis di rumah sakitnya buruk. Menurutnya, pelayanan terhadap pasien merupakan tugas utama setiap tenaga medis. “Itu hanya persepsi saja, kalau kita tidak menerima pasien, itu baru namanya pelayanan buruk,” ujarnya.
Dia juga membantah jika biaya pembayaran medis harus dilakukan di awal. Menurutnya pembiayaan medis itu dibayar oleh keluarga pasien setelah semua tindakan medis dilakukan. Pembayarannya juga diberikan kepada pihak rumah sakit pada saat pasien pulang.
Mengenai ketersediaan ruang inap, Farid mengaku, selalu mengalamiover load. Jumlah kunjungan pasien tidak sebanding dengan jumlah tempat tidur yang tersedia. Selama ini, RSUD dr Slamet melayani rawat jalan rata-rata sekitar 2.000 pasien keluarga miskin setiap bulannya, sedangkan untuk rawat inap mencapai 500-600 orang perbulannya yang 60 persennya merupakan pasien jamkesmas. Padahal kapasitas rumah sakit hanya 458 tempat tidur.
- Insurance
Contoh kasus :
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,” imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati swasta itu.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Kasus diatas membuktikan, Pada ketentuan umum UU soal konsumen, menyangkut promosi disebutkan, Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Maka, Kasus ini menunjukkan bahwa terkadang promosi iklan sangat tidak beretika bisnis. Oleh karena itu, diharapkan akan adanya keterbukaan antara produsen kepada konsumen sehingga mereka akan bisa saling nyaman satu sama lain.
- Emphaty
Produsen mobil Ford Motor Company yang disidangkan 1977 akibat sistem rem yang tidak sempurna dan mengakibatkan kecelakaan pada konsumennya (Morgan, 1982). Ford Motor Company didakwa oleh pengadilan telah lalai memasang sistem rem yang tidak aman. Korban adalah James Hasson (19) tahun 1970 yang tur bersama teman-temannya dan meminjam mobil ayahnya berjenis Lincoln Continental buatan 1966 produksi Ford. Dalam perjalanan, mereka kecelakaan akibat sistem rem tidak berfungsi sempurna. Walaupun tidak ada korban jiwa, James Hasson lumpuh permanen dan sistem otaknya rusak (Hasson v Ford, 1977).
Kelalaian sederhana yang sangat fatal ini patut dipertanyakan adakah tanggung jawab produsen dan distributor terhadap kelalaian yang tidak hanya merugikan, tetapi juga mengancam nyawa konsumen?
Sumber:
http://adimanpangaribuan.blogspot.com/2012/06/pengertian-konsumen.html
http://audygunadarma.blogspot.com/2014/04/normal-0-false-false-false-in-ja-x-none.html
http://bisnisukm.com/solusi-inti-tangible-intangible.html
http://daniguntoro.blogspot.com/2015/01/contoh-kasus-perilaku-konsumen.html
http://nasional.tempo.co/read/news/2010/11/30/178295562/Pelayanan-Rumah-Sakit-Garut-Dinilai-Buruk
https://putrifebriwulandariblog.wordpress.com/2013/05/20/perlindungan-konsumen-dan-contoh-kasus/
http://budisansblog.blogspot.com/2015/03/kelalaian-dan-perlindungan-konsumen.html